Kamis, 10 Juli 2014

A Memory

Batas waktu yang sempat aku miliki..

Ini adalah cerita masa lalu, yang cukup membuatku membutuhkan waktu dan energi yang cukup banyak untuk melewati semua ini.
Sembilan bulan yang lalu sebelum tanggal satu bulan januari, aku seperti remaja lainnya sibuk menyiapkan kado untuk sosok yang mengisi hatiku saat itu. Mencarikan kado yang menurutku apakah ia akan menyukainya. Aku memikirkannya dengan sangat bersemangat. Benar, itu sekitar delapan bulan yang lalu.
Secarik kertas coretan kata-kata yang aku susun rapi untukknya, aneh tapi itulah aku beberapa bulan kebelakang.

Kurang lebih dari sembilan bulan sejak perkenalan itu, banyak pelajaran yang aku dapatkan. Dia sosok seseorang yang mampu bertanggung jawab, baik dan mudah untuk tersenyum. Sosok yang senang melihatku marah atau pun cemburu berlebihan. Memang dia adalah sosok yang kejam menurutku, karena terkadang ia tak membiarkanku untuk mengetahui keadaanya dan aktivitas apa yang sedang ia gelutinnya. Ia sosok orang yang sangat rajin dan bersemangat dalam berorganisasi, terbukti ia menjadi salah satu anggota organisasi di Institut dimana tempat ia menempuh pendidikan. Institut yang ia tempati adalah Institut yang terbilang cukup favorit di negara yang aku tinggali. Aku bangga dengan semangatnya, dan kegigihannya dalam menjalankan sebuah tanggung jawab yang dipercayakan padanya.

Selama sembilan bulan saat itu disanalah aku mulai mengalami banyak perubahan. Dalam hal sifat kekanak-kanakanku, dan sifat komitmen yang aku percayai saat aku mencoba menjalin hubungan yang dibilang jaraknya cukup jauh. Benar, aku menjalin hubungan yang sering disebut LDR.
Saat perjalanan itu, aku mulai mengerti sedikit tentang rasa rindu, rasa sayang.. iya, aku mulai merasakannya kembali setelah luka yang lalu mulai memudar sakitnya.

Aku mulai berfikir seandainya aku tak mampu mengerti tentang rasa sayang yang ia berikan, dan luka yang mungkin akan aku berikan untuknya. Aku mulai bimbang dengan keputusan rumit yang harus aku pilih. Karena disisi hatiku yang kecil ini, aku masih memiliki perasaan yang aku simpan rapi untuk ia (orang lain). Meninggalkannya atau tetap bertahan dan menyakitinya dengan berpura-pura semua baik-baik saja. Jahatkah aku? Benar, aku hanya memikirkan bagaimana perasaanku saja tanpa memikirkan bagaimana perasaanya. Untuk memastikan keputusan yang telah aku ambil, aku ingin sekali melihat apakah ia benar-benar tulus dengan hubungan ini. Aku mulai menguji kesabarannya, dengan mengulangi kesalahan yang sama yang pernah aku buat dan membuatnya cukup marah. Aku mengaharapkan ia akan memilih bertahan denganku dan tentunya aku akan benar-benar memulainya dari hatiku yang telah sembuh dari luka lama. Tentu saja, aku bisa melihat reaksinya dari akun jejaring sosialnya. Ketika aku membaca tanggapannya aku mulai sedikit kecewa, seginikah pertahanannya untukku?

Saat itu aku menghentikan komunikasi yang terjalin, dan hal yang aku harapkan sama sekali tidak terjadi. Benar ia tidak merasakan kehilangan meski hampir dua minggu aku tidak menanyakan kabar atau memberikannya kabar tentang bagaimana keadaanku disini. Aku mulai cemas, akankah hal buruk akan terjadi? Semua kenangan yang aku dapatkan sedikit demi sedikit memberi rasa sakit dan kecewa, aku mulai ragu dan rasa itu bertambah setelah waktu dua minggu berlalu.

Setidaknya ia sempat memiliki hatiku, hatiku yang pernah terluka dan menyembuhkannya. Namun, dengan masalah besar yang dihadapi, segini sajakah perjuangannya untukku??? Tapi aku sangat berterimakasih, karna dengan hadirnya warna dihidupku pun bertambah, meski pada akhirnya aku meminta untuk melepaskan genggaman ini, mungkin pada awalnya ia tak pernah menggenggam tangaku dengan erat karena ia melepaskanku dengan begitu mudah. Yang aku harapkan adalah ia bertahan dari masalah ini bukan untuk mengakhirinya. Taukah, saat ia menyetujui berpisah denganku bagaimana rasanya?? Rasa kecewa yang begitu besar datang menghempasku. Membuatku terdiam dalam hati tanpa bisa berkata-kata. Aku hanya menutupinya dengan senyum dan sikap ceria agar semua orang tak mengetahui bahwa aku kehilangan sosok yang telah aku percayai, terluka dan kecewa.

Seandainya ia tahu, aku tak ingin ia melepaskan genggaman ini. Melupakan kenangan dan perjuangan menuju titik ini. Aku tidak ingin semua itu terjadi. Namun. Apa daya saat ketika soal kehidupan tercipta, jawabannya pun telah tertulis dengan jelas. Aku menyadarinya, mungkin dengan melepasnya ia akan jauh lebih bahagia.
Kata “seandainya ia tahu...” aku selalu memikirkan kalimat konyol tersebut. Ia kini menjalin kasih dengan seseorang yang sangat aku kenal. Seseorang yang dulunya adalah sosok sahabat untukku, tapi apa daya. Beginilah dunia, aku harus mampu bertahan dan melaluinya. Kata “seandainya..” sungguh tidak akan pernah berlaku. Aku melepaskannya, merelakan semua kenangan, semua tentang nya yang telah membekas dihati ini.

Aku hanya akan menanyakan sesekali bagaimana kabarnya dari seseorang yang memperhatikkannya dari jauh, dan melihat kebahagiaanya dari sini. Dari jarak yang tak akan pernah ia ketahui.
Itulah seulas ceritaku, tentang sebagian kecil dari problema kehidupanku, aku belajar mengambil hikmah yang aku dapatkan dari semua itu. Kita tidak mampu menilai seseorang dari luarnya, karena ia tidak mengatakan ia menyayangimu bukan berarti ia tidak pernah menyayangimu.


Terimakasih J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar