Batas waktu yang sempat aku miliki..
Ini adalah
cerita masa lalu, yang cukup membuatku membutuhkan waktu dan energi yang cukup banyak
untuk melewati semua ini.
Sembilan
bulan yang lalu sebelum tanggal satu bulan januari, aku seperti remaja lainnya
sibuk menyiapkan kado untuk sosok yang mengisi hatiku saat itu. Mencarikan kado
yang menurutku apakah ia akan menyukainya. Aku memikirkannya dengan sangat
bersemangat. Benar, itu sekitar delapan bulan yang lalu.
Secarik
kertas coretan kata-kata yang aku susun rapi untukknya, aneh tapi itulah aku
beberapa bulan kebelakang.
Kurang lebih
dari sembilan bulan sejak perkenalan itu, banyak pelajaran yang aku dapatkan.
Dia sosok seseorang yang mampu bertanggung jawab, baik dan mudah untuk
tersenyum. Sosok yang senang melihatku marah atau pun cemburu berlebihan. Memang
dia adalah sosok yang kejam menurutku, karena terkadang ia tak membiarkanku
untuk mengetahui keadaanya dan aktivitas apa yang sedang ia gelutinnya. Ia sosok
orang yang sangat rajin dan bersemangat dalam berorganisasi, terbukti ia
menjadi salah satu anggota organisasi di Institut dimana tempat ia menempuh
pendidikan. Institut yang ia tempati adalah Institut yang terbilang cukup
favorit di negara yang aku tinggali. Aku bangga dengan semangatnya, dan
kegigihannya dalam menjalankan sebuah tanggung jawab yang dipercayakan padanya.
Selama
sembilan bulan saat itu disanalah aku mulai mengalami banyak perubahan. Dalam hal
sifat kekanak-kanakanku, dan sifat komitmen yang aku percayai saat aku mencoba
menjalin hubungan yang dibilang jaraknya cukup jauh. Benar, aku menjalin
hubungan yang sering disebut LDR.
Saat perjalanan
itu, aku mulai mengerti sedikit tentang rasa rindu, rasa sayang.. iya, aku
mulai merasakannya kembali setelah luka yang lalu mulai memudar sakitnya.
Aku mulai
berfikir seandainya aku tak mampu mengerti tentang rasa sayang yang ia berikan,
dan luka yang mungkin akan aku berikan untuknya. Aku mulai bimbang dengan
keputusan rumit yang harus aku pilih. Karena disisi hatiku yang kecil ini, aku
masih memiliki perasaan yang aku simpan rapi untuk ia (orang lain). Meninggalkannya
atau tetap bertahan dan menyakitinya dengan berpura-pura semua baik-baik saja. Jahatkah
aku? Benar, aku hanya memikirkan bagaimana perasaanku saja tanpa memikirkan
bagaimana perasaanya. Untuk memastikan keputusan yang telah aku ambil, aku
ingin sekali melihat apakah ia benar-benar tulus dengan hubungan ini. Aku mulai
menguji kesabarannya, dengan mengulangi kesalahan yang sama yang pernah aku
buat dan membuatnya cukup marah. Aku mengaharapkan ia akan memilih bertahan
denganku dan tentunya aku akan benar-benar memulainya dari hatiku yang telah
sembuh dari luka lama. Tentu saja, aku bisa melihat reaksinya dari akun
jejaring sosialnya. Ketika aku membaca tanggapannya aku mulai sedikit kecewa, seginikah
pertahanannya untukku?
Saat itu aku
menghentikan komunikasi yang terjalin, dan hal yang aku harapkan sama sekali
tidak terjadi. Benar ia tidak merasakan kehilangan meski hampir dua minggu aku
tidak menanyakan kabar atau memberikannya kabar tentang bagaimana keadaanku
disini. Aku mulai cemas, akankah hal buruk akan terjadi? Semua kenangan yang aku dapatkan sedikit demi sedikit memberi rasa sakit dan
kecewa, aku mulai ragu dan rasa itu bertambah setelah waktu dua minggu berlalu.
Setidaknya
ia sempat memiliki hatiku, hatiku yang pernah terluka dan menyembuhkannya. Namun,
dengan masalah besar yang dihadapi, segini sajakah perjuangannya untukku???
Tapi aku sangat berterimakasih, karna dengan hadirnya warna dihidupku pun
bertambah, meski pada akhirnya aku meminta untuk melepaskan genggaman ini,
mungkin pada awalnya ia tak pernah menggenggam tangaku dengan erat karena ia
melepaskanku dengan begitu mudah. Yang aku harapkan adalah ia bertahan dari
masalah ini bukan untuk mengakhirinya. Taukah, saat ia menyetujui berpisah
denganku bagaimana rasanya?? Rasa kecewa yang begitu besar datang menghempasku.
Membuatku terdiam dalam hati tanpa bisa berkata-kata. Aku hanya menutupinya
dengan senyum dan sikap ceria agar semua orang tak mengetahui bahwa aku
kehilangan sosok yang telah aku percayai, terluka dan kecewa.
Seandainya ia
tahu, aku tak ingin ia melepaskan genggaman ini. Melupakan kenangan dan
perjuangan menuju titik ini. Aku tidak ingin semua itu terjadi. Namun. Apa daya
saat ketika soal kehidupan tercipta, jawabannya pun telah tertulis dengan
jelas. Aku menyadarinya, mungkin dengan melepasnya ia akan jauh lebih bahagia.
Kata “seandainya
ia tahu...” aku selalu memikirkan kalimat konyol tersebut. Ia kini menjalin
kasih dengan seseorang yang sangat aku kenal. Seseorang yang dulunya adalah
sosok sahabat untukku, tapi apa daya. Beginilah dunia, aku harus mampu bertahan
dan melaluinya. Kata “seandainya..” sungguh tidak akan pernah berlaku. Aku melepaskannya,
merelakan semua kenangan, semua tentang nya yang telah membekas dihati ini.
Aku hanya
akan menanyakan sesekali bagaimana kabarnya dari seseorang yang
memperhatikkannya dari jauh, dan melihat kebahagiaanya dari sini. Dari jarak
yang tak akan pernah ia ketahui.
Itulah seulas
ceritaku, tentang sebagian kecil dari problema kehidupanku, aku belajar
mengambil hikmah yang aku dapatkan dari semua itu. Kita tidak mampu menilai
seseorang dari luarnya, karena ia tidak mengatakan ia menyayangimu bukan
berarti ia tidak pernah menyayangimu.
Terimakasih J